Kamis, 16 Desember 2010

Cerita Sang Bintang


Di tengah kelamnya malam, aku terbangun
Kutatap bintang-bintang yang bersinar menerangiku
Kutatap bintang yang paling terang
Seakan aku mendengar ia berbisik
Ia menceritakan sebuah cerita padaku
Cerita tentang perjalanan hidup seorang manusia
Cerita tentang perjuangan keras sang insan diterpa badai kehidupan
Cerita tentang kepasrahan diri kepada angin takdir yang meniup nasibnya
Cerita tentang keikhlasan sang insan dalam menerima apa yang Tuhan berikan untuknya
Ia percaya, Tuhanlah yang paling tahu yang terbaik baginya
Cerita sang bintang telah mengajarkan kepadaku suatu pelajaran berharga
Untuk selalu mensyukuri apa yang telah Ia berikan
Untuk menghadapi semua dengan senyum dan keikhlasan
Apa yang Ia berikan tentu yang terbaik untukku
Terima kasih, bintang..
Ku tunggu ceritamu yang berikutnya
Sampai bertemu di lain waktu
Kumohon, temani aku dalam mimpiku malam ini
Selamat malam :)

Sabtu, 13 November 2010

Dua Pengamen

Hari ini adalah H-14 Konser Akbar Mahawaditra dan seperti biasa tadi kami semua latihan di balai mahasiswa ui salemba. Latihan hari ini begitu menyenangkan karena untuk pertama kalinya pemain violin 2 yang hadir sampai 7 orang (walaupun bukan ini yang mau saya bicarakan sekarang.. hehe). Ya, tapi pada intinya latihan hari ini sangat menyenangkan bagi saya.

Sebenarnya, yang ingin saya bicarakan adalah beberapa kejadian setelah latihan. Baru kami selesai latihan, kami dapat berita bahwa salah satu pemain viola kami mengalami kecelakaan motor. Sedih sekali saya mendengarnya.. Namun, apa boleh buat, saya tidak bisa ikut menjenguk ke RSCM karena ada suatu urusan. Akhirnya, saya pun pulang bersama salah satu senior di Mahawaditra. Kak Marsen namanya. Di situlah cerita bermulai.

Pada awalnya semua biasa saja. Kami pulang menaikin bus patas 76 seperti biasa. Duduk dan membayar ongkos pun biasa. Sampai pada akhirnya kami pun mulai mengobrol. Diawali dengan obrolan tentang Konser Akbar Mahawaditra, materi kuliah (karena kuliah kami memang banyak berhubungan), dan sampailah pada topik pembicaraan random (khas anak Mahawditra).

Setelah melewati beberapa topik pembicaraan random itu pun akhirnya kami tertidur dan kemudian saya terbangun oleh suara petikan senar. Ya, tidak salah lagi, itu suara gitar pengamen. Saya mendengar beberapa pengamen bergantian naik turun bus, menyanyikan lagu-lagu yang hampir sama dan dengan cara yang sama. Asal-asalan. Saya pikir, perjalanan tadi akan menjadi perjalanan yang membosankan, sampai akhirnya masuklah dua orang pengamen yang masing-masing membawa gitar.

Dari kesan pertama, saya merasa pengamen yang ini berbeda dari pengamen-pengamen sebelumnya. Mereka jauh lebih terlihat niat. Sebelum mulai menghibur penumpang, mereka menyetem gitarnya terlebih dahulu. Dan, yang paling berkesan adalah mereka membawakan lagu-lagu yang berbeda dari lagu-lagu yang dibawakan oleh pengamen-pengamen yang sebelumnya. Di antara semua, yang paling membekas adalah ketika mereka membawakan lagu Beautiful Girl (dipopulerkan oleh Jose Mari Chan). Mereka membawakannya dengan pembagian suara yang cukup apik dan petikan gitar yang saling mengisi dan harmonis.

Entah kenapa, lagu tersebut memberi kesan yang sangat dalam bagi saya. Begitu romantis. Dari kejadian itu akhirnya saya menyadari, untuk menikmati suatu karya seni, yang terpenting bukanlah seberapa mewahnya kondisi kita pada saat itu. Yang terpenting adalah ketika sang seniman dapat menyampaikan pesannya kepada para penikmat seni walaupun dengan cara dan dalam keadaan yang amat sederhana. Nyanyian pengamen di dalam bus berbau obat batuk pun bisa memberikan kesan yang mendalam bagi saya. Dan, kejadian itu pun menunjukkan kepada saya tentang pesona dari sebuah kesederhanaan.

Dan, yang terakhir, walaupun sepertinya dua orang pengamen itu tidak akan membaca tuliasan ini, dari lubuk hati terdalam saya, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada mereka. Terima kasih sudah mengajarkan kepada saya tentang arti kesederhanaan. :)

Kamis, 04 November 2010

Surat Cinta untuk Mahawaditra

Depok, 4 November 2010

Dear Mahawaditrans,

Hari ini sudah terhitung sebagai H-23 Konser Akbar kita. Kalau dihitung (ngga dihitung juga tetep sama sih), kesempatan latihan kita semakin sedikit. Waktu memang terasa cepat berjalan. Rasanya, bulan Juni masih baru lewat, tiba-tiba sekarang sudah November.

Sejujurnya, aku sangat cemas dengan Konser Akbar kita ini. Rasanya ,asih banyak lagu yang belum tuntas dibahas sedangkan waktu latihan kita semakin menipis dan ini aku rasain banget ketika aku menyusun agenda latihan violin 2 waktu kelas farmakologi tadi siang (bandel ya bukannya malah dengerin dosen?? hehehe...) Ya, intinya aku takut.

Tapi, entah kenapa, dibalik semua rasa takut itu aku masih menyimpan harapan. Harapan yang besar untuk kita semua bahwa Konser Akbar kita akan bagus. Walaupun ada yang pernah bilang kalau konser ini kayak mission impossible, tapi aku masih punya keyakinan kalau kita bisa. Ngga ada yang ngga mungkin di dunia ini selama kita yakin. Sesuai dengan salah satu motto hidup yang aku anut selama ini "I was born to do the impossible things because I always dream the impossible dreams" (sesuai juga lho sama backsound blog ini... hehehe).

Teman-temanku tersayang, di waktu yang semakin mepet ini, semoga kita bisa lebih memanfaatkan waktu dengan baik untuk latihan kita supaya konser kita bisa sukses sesuai dengan harapan kita. apapun yang terjadi, tetap semangat ya latihannya.. I love you all...

With love,
Putri Adisti Hasanah

Senin, 18 Oktober 2010

OSUI Mahawaditra as A Big Part of My Life


Rasanya sudah lama sekali saya tidak menulis di blog ini. Ya, memang akhir-akhir ini saya menjadi jauh lebih sibuk. Alasan pertama adalah liburan semester yang sudah berakhir dan yang ke dua adalah, sudah beberapa bulan ini saya mengikuti orkestra kampus, Orkes Simfoni UI Mahawaditra.

Beruntung sekali rasanya saya bisa bergabung dalam orkestra tersebut. Mungkin terdengar agak aneh, saya yang memang bercita-cita menjadi seorang violinist dan pelukis sejak balita tidak mengabil kuliah di jurusan seni. Namun, mungkin memang itu jalan yang Tuhan berikan hingga saya bisa bergabung dalam Mahawaditra.

Terkadang saya masih tidak percaya bahwa saya adalah seorang anggota Mahawaditra. Menjadi seorang pemain biola dalam sebuah orkestra rasanya masih seperti mimpi bagi saya. Such a dream come true!

Banyak sekali hal yang dapat saya pelajari dari teman-teman di Mahawaditra. Tidak hanya dari segi musik, namunjuga dari rasa kebersamaan dan dan dukungan yang mereka berikan. Pada awalnya, saya cukup minder dengan kemampuan bermusik yang saya miliki. Hal pertama yang terlintas di pikiran saya ketika latihan pertama adalah "saya harus bisa seperti mereka!" Berkat dukungan mereka, saya yakin bahwa saya pasti bisa. Dan memang, saya sendiri pun merasakan bahwa kemampuan bermusik saya meningkat pesat sejak menjadi anggota Mahawaditra.

Walaupun harus berjalan seiring dengan pahitnya perkuliahan yang saya jalani, menjadi bagian dari Mahawaditra adalah salah satu pengalaman yang tidak akan pernah saya sesali. Sebuah anegerah Tuhan berupa pengalaman indah yang harus disyukuri. Terima kasih ya Allah, Kau pertemukan aku dengan mereka...

Kamis, 30 September 2010

Marriage


When I got home that night as my wife served dinner, I held her hand and said, I've got something to tell you. She sat down and ate quietly.Again I observed the hurt in her eyes.

Suddenly I didn't know how to open my mouth. But I had to let her know what I was thinking. I want a divorce. I raised the topic calmly. She didn't seem to be annoyed by my words, instead she asked me softly, why?

I avoided her question. This made her angry. She threw away the chopsticks and shouted at me, you are not a man! That night, we didn't talk to each other. She was weeping. I knew she wanted to find out what had happened to our marriage. But I could hardly give her a satisfactory answer; she had lost my heart to Jane. I didn't love her anymore. I just pitied her!

With a deep sense of guilt, I drafted a divorce agreement which stated that she could own our house, our car, and 30% stake of my company.

She glanced at it and then tore it into pieces. The woman who had spent ten years of her life with me had become a stranger. I felt sorry for her wasted time, resources and energy but I could not take back what I had said for I loved Jane so dearly. Finally she cried loudly in front of me, which was what I had expected to see. To me her cry was actually a kind of release. The idea of divorce which had obsessed me for several weeks seemed to be firmer and clearer now.

The next day, I came back home very late and found her writing something at the table. I didn't have supper but went straight to sleep and fell asleep very fast because I was tired after an eventful day with Jane.

When I woke up, she was still there at the table writing. I just did not care so I turned over and was asleep again.

In the morning she presented her divorce conditions: she didn't want anything from me, but needed a month's notice before the divorce. She requested that in that one month we both struggle to live as normal a life as possible. Her reasons were simple: our son had his exams in a month's time and she didn't want to disrupt him with our broken marriage.

This was agreeable to me. But she had something more, she asked me tore call how I had carried her into out bridal room on our wedding day.

She requested that every day for the month's duration I carry her out of our bedroom to the front door ever morning. I thought she was going crazy. Just to make our last days together bearable I accepted her odd request.

I told Jane about my wife's divorce conditions. . She laughed loudly and thought it was absurd. No matter what tricks she applies, she has to face the divorce, she said scornfully.

My wife and I hadn't had any body contact since my divorce intention was explicitly expressed. So when I carried her out on the first day,we both appeared clumsy. Our son clapped behind us, daddy is holding mommy in his arms. His words brought me a sense of pain. From the bedroom to the sitting room, then to the door, I walked over ten meters with her in my arms. She closed her eyes and said softly; don't tell our son about the divorce. I nodded, feeling somewhat upset. I put her down outside the door. She went to wait for the bus to work. I drove alone to the office.

On the second day, both of us acted much more easily. She leaned on my chest. I could smell the fragrance of her blouse. I realized that I hadn't looked at this woman carefully for a long time. I realized she was not young any more. There were fine wrinkles on her face, her hair was graying! Our marriage had taken its toll on her. For a minute I wondered what I had done to her.

On the fourth day, when I lifted her up, I felt a sense of intimacy returning. This was the woman who had given ten years of her life to me.

On the fifth and sixth day, I realized that our sense of intimacy was growing again. I didn't tell Jane about this. It became easier to carry her as the month slipped by. Perhaps the everyday workout made me stronger.

She was choosing what to wear one morning. She tried on quite a few dresses but could not find a suitable one. Then she sighed, all my dresses have grown bigger. I suddenly realized that she had grown so thin, that was the reason why I could carry her more easily.

Suddenly it hit me... she had buried so much pain and bitterness in her heart. Subconsciously I reached out and touched her head.

Our son came in at the moment and said, Dad, it's time to carry mom out. To him, seeing his father carrying his mother out had become an essential part of his life. My wife gestured to our son to come closer and hugged him tightly. I turned my face away because I was afraid I might change my mind at this last minute. I then held her in my arms,walking from the bedroom, through the sitting room, to the hallway. Her hand surrounded my neck softly and naturally. I held her body tightly;it was just like our wedding day.

But her much lighter weight made me sad. On the last day, when I held her in my arms I could hardly move a step. Our son had gone to school.I held her tightly and said, I hadn't noticed that our life lacked intimacy.

I drove to office.... jumped out of the car swiftly without locking the door. I was afraid any delay would make me change my mind...I walked upstairs. Jane opened the door and I said to her, Sorry, Jane, I do not want the divorce anymore.

She looked at me, astonished, and then touched my forehead. Do you have a fever? She said. I moved her hand off my head. Sorry, Jane, I said, I won't divorce. My marriage life was boring probably because she and I didn't value the details of our lives, not because we didn't love each other anymore. Now I realize that since I carried her into my home on our wedding day I am supposed to hold her until death do us apart.

Jane seemed to suddenly wake up. She gave me a loud slap and then slammed the door and burst into tears. I walked downstairs and drove away.

At the floral shop on the way, I ordered a bouquet of flowers for my wife. The salesgirl asked me what to write on the card. I smiled and wrote, I'll carry you out every morning until death do us apart.

That evening I arrived home, flowers in my hands, a smile on my face, I run up stairs, only to find my wife in the bed - dead.

My wife had been fighting CANCER for months and I was so busy with Jane to even notice. She knew that she would die soon and she wanted to save me from the whatever negative reaction from our son, in case we push through with the divorce.-- At least, in the eyes of our son--- I'm a loving husband....

The small details of your lives are what really matter in a relationship. It is not the mansion, the car, property, the money in the bank. These create an environment conducive for happiness but cannot give happiness in themselves. So find time to be your spouse's friend and do those little things for each other that build intimacy.Do have a real happy marriage!

If you don't share this, nothing will happen to you.

If you do, you just might save a marriage.

Many of life's failures are people who did not realize how close they were to success when they gave up.

Minggu, 01 Agustus 2010

Kesederhanaan Para Seniman Sejati


Sudah beberapa bulan terakhir ini saya rutin menonton sebuah acara pencarian bakat, Indonesia Mencari Bakat, yang disiarkan oleh transtv. Ada beberapa kontestan yang saya kagumi, salah satunya adalah klantink. Klantink merupakan sebuah grup musik yang para personilnya pada awalnya adalah musisi jalanan.



Ada beberapa hal yang saya kagumi dati penampilan grup klantink ini. Yang pertama, kehebatan mereka mengaransemen ulang lagu-lagu yang mereka nyanyikan. Ada beberapa lagu yang pada dasarnya saya kurang suka, tetapi setelah dibawakan oleh klantink saya bisa menikmatinya. Aransemen bernuansa keroncong khas klantink yang mereka bawakan membuat lagu-lagu tersebut terdengar berbeda dan lebih fresh.

Yang kedua, mereka memiliki kreativitas yang sangat luar biasa. Mereka dapat menjadikan benda-benda nonmusikal menjadi alat musik. Contohnya, sendok, sekop, rantang, dan lain-lain. Mereka dapat membuktikan bahwa apapun yang ada disekitar kita dapat dijadikan inspirasi untuk berkarya.

Tidak hanya itu, dalam setiap penampilan mereka, mereka selalu mencerminkan budaya Indonesia. Kesederhanaan, keramahan, dan ketulusan yang merupakan dasar dari budaya Indonesia justru menjadi daya tarik tersendiri dari setiap penampilan mereka. Mereka menyajikan karya yang benar-benar diciptakan dengan sepenuh hati. Setiap penampilang mereka selalu mengingatkan saya kepada perkataan salah seorang guru saya, yaitu "skill dalam bermain bisa dilatih, instrumen bisa dibeli di toko, tapi hati itu anugrah Tuhan. Jadi, itu yang paling penting". Ketulusan dari setiap penampilan klantink membuat penampilang mereka selalu berkesan bagi saya.

Intinya, sesuai dengan nama grup mereka, klantink, yang sebenarnya adalah nama jajanan pasar, klantink merupakan sebuah grup musik yang menyajikan karya yang merakyat dan dapat dinikmati oleh semua orang dengan kesederhanaan dan ketulusan sebagai daya tarik mereka. Saya merasa beruntung karena Indonesia memiliki klantink. Maju terus, seniman Indonesia!

Sabtu, 31 Juli 2010

Bimbang

Sunyi, sepi.
Tak satu pun kata terucap.
Bimbang? Mungkin.
Takut? Sedikit.
Sedih? Tentu.
Jenuh? Ya.
Menyesal? Sangat.
Semua itu bergelut dalam pikiranku.
Namun, mengapa tak satu kata pun dapat kuucap?
Kucoba untuk katakan, namun lidahku kelu.
Sebenarnya ingin kukatakan yang sejujurnya.
Betapa aku membenci semua yang kulakukan kini.
Aku ingin lepas dari jerat ini.
Semakin lama, semakin tak kukenali diriku yang sebenarnya.
Tuhan, kumohon pertolongan-Mu.
Hanya Engkau yang tahu yang terbaik untukku.